Seperti yang tercatat dalam sejarah,
perpindahan bangsa-bangsa secara besar-besaran dari Asia tenggara
terjadi pada kurun waktu yang panjang (antara 4000 – 2000 sebelum
Masehi). Kejadian ini antara lain berasal-muasal dari bertambah pesat
kerajaan –kerajaan Cina. Karena kepesatan perkembangan kebudayaannya
mereka lalu meluaskan pengaruh kekuasaannya ke arah selatan. Kawasan
yang langsung terkena dampaknya adalah wilayah Tibet (yang merupakan
tanah leluhur bangsa Burma) dan daerah Yunan (yang semula dihuni orang
Thai dan Vietnam). Akibat dari mengalirnya kedatangan bangsa Cina
tersebut, maka bangsa-bangsa Burma, Thai dan Vietnam terpaksa menyingkir
lebih ke selatan.
Hingga akhirnya, perpindahan mereka lalu
melahirkan cikal bakal bangsa-bangsa Proto Melayu yang pada saat itu
bermukim di wilayah Burma, Siam dan Indochina. Fenomena itu menyebabkan
kelompok bangsa-bangsa tersebut menjadi tercerai-berai. Hingga sebagian
dari mereka melakukan perpindahan ke daerah pantai. Namun tidak sedikit
diantara mereka yang terus ke selatan, mengarungi laut ataupun melewati
Semenanjung kemudian menyeberangi selat hingga mencapai pulau-pulau di
Nusantara.
Proses perpindahan melintasi lautan
tersebut tidak berlangsung sekaligus. Kebanyakan dari mereka berangkat
secara bergelombang kelompok demi kelompok dalam kurun waktu kurang
lebih 2000 tahun. Karena tidak bersamaan meninggalkan tanah asalnya itu
maka kelompok-kelompok tersebut tiba di tempat yang berlainan pulau di
Nusantara. Walau pada mulanya mereka serumpun bangsa dan bahasanya,
lama-kelamaan pemisahan Geografis menyebabkan terjadinya perbedaan yang
makin membesar. Pembauran dengan kelompok-kelompok berbeda (bangsa
Deotero Melayu) yang datang belakangan ternyata mempertajam perbedaan
karena pemisahan itu. Sesudah beberapa abad berlaku maka terjadilah
suku-suku bangsa yang pluralis seperti yang terlihat sekarang di
kepulauan Indonesia ini.
Namun demikian masih dapat disaksikan
adanya persamaan mendasar di antara mereka. Misalnya kesamaan dalam cara
menamakan benda-benda umum (padi, pandan, ubi, udang, hujan, batu) di
sekelilingnya, atau dalam model penyebutan nama seseorang berdasarkan
nama anak sulungnya. Kesamaan substansi pun dapat di jumpai pada
penggunaan kata bantu (ekor, batang, lembar, buah) dalam menghitung
sesuatu. Kemudian mereka memiliki kesamaan dalam kesukaannya dalam meng
konsumsi ikan kering yang diasinkan dan dibusukkan (terasi, petis) atau
makanan yang ditapaikan. Semuanya juga ternyata sama-sama senang mengadu
ayam. Begitu pula warna kulit, bentuk muka, perawakan badan serta sifat
fisik serta tubuh lainnya memang menunjukkan bahwa orang-orang
Nusantara itu berasal dari rumpun bangsa yang sama.
Salah satu kelompok bangsa yang pindah
mengarungi laut itu terdampar ke suatu pulau kecil yang terletak di
utara, ujung timur pulau Jawa. Para pendatang ini lalu menetap di sana
untuk kemudian menjadi nenek moyang Bangsa Madura. Seperti bangsa Piah,
Campa dan Jai di Kocincina mereka mengacu pada apai dengan mana apoy,
menyebut istrinya bine dan memakai kata ella untuk menyatakan sudah.
Berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya. Bahasa mereka mengenal konsonan
rangkap seperti bassa, cacca, daddi, kerrong dan pennai. Kalau
dibandingkan dengan bangsa-bangsa yang mendiami pulau-pulau di
sekitarnya, leluhur orang Madura ini umumnya memiliki tengkorak yang
celah matanya lebar mendatar dengan tulang pipi lebih menonjol. Raut
muka mereka tidak begitu halus dan warna kulitnya lebih gelap.
Dari beberapa hasil penelitian sejarah
belum dapat dipastikan apakah sesampainya di pulau yang akan menjadi
tempat huniannya cikal-bakal Suku Bangsa Madura itu menjumpai penduduk
asli Nusantara. Jika ada maka penduduk asli itu akan dapat dikalahkan
sebab mereka masih berkebudayaan batu tua (paeolitik). Adapun pendatang
baru dari utara itu telah berkebudayaan batu baru (neolitik), seperti
ditunjukkan oleh peninggalan mereka yang diketemukan di Madura. Jadi
mereka telah berkemampuan mengupam atau mengasah batu menjadi beliung
atau kapak persegi, yang dapat pula dijadikan pacul.
Setelah ratusan tahun di Madura maka
para pendatang baru itu menjadi beranak-pinak dan terpencar-pencar ke
seluruh pulau. Bahkan pulau-pulau kecil di sekitar Madura dihuninya
juga, seperti pulau Sepudi dan Kangean di timur, pulau Mandangil di
selat Madura dan pulau Masalembu serta Bawean di laut Jawa. Mereka
bermukim dalam kelompok-kelompok yang besarnya di tentukan oleh
kesuburan tanah atau daya dukung ekologi setempat. Beberapa kelompok ini
jumlahnya sampai ratusan orang sehingga kemudian membentuk
satuan-satuan tersendiri namun masih terikat satu sama lain oleh
kesamaan bahasa. Dan lama-kelamaan memunculkan dialek setempat yang
terhadap perbedaannya dari barat (Bangkalan), tengah (Sampang dan
Pamekasan), timur (Sumenep) dan timur sekali (Kangean). Lambat laun
timbul pula ras keterkaitan pada tanah kelahiran dan pada kelompok
masyarakat yang menghuni nya karena kebersamaan peruntungan dan
kebersamaan nya. Jarak Geografis pusat-pusat pemukiman yang berjauhan
itu menyebabkan perbedaan di antara mereka itu semakin mantap. Apalagi
karena perkembangan selanjutnya mengikuti alur sejarah yang agak
berlainan untuk setiap wilayah.
Peninggalan purbakala berupa kapak dan
bejana perunggu (sebagai pengejawantahan peradaban Dongson) yang se-type
dengan yang ada di daratan Cina Selatan dan Asia Tenggara juga
diketemukan di wilayah Sampang, ini memberi bahwa tidak terputusnya
hubungan Madura dengan daratan Asia, yang mungkin dilakukan untuk
keperluan perdagangan. Tetapi karena Madura tidak menghasilkan komoditas
perdagangan yang berarti untuk dipertukarkan, maka timbul dugaan bahwa
mereka ini merupakan pedagang perantara. Mungkin juga hanya bermodalkan
pengetahuan tentang seni berlayar, maka pelaut-pelaut Madura menyediakan
perahunya untuk membawa pedagang dari bangsa lain mengarungi lautan
lepas.
Kerajaan-kerajaan kecil di Madura tentu
menjadi merdeka sebentar sampai raja Airlangga berhasil meng-konsolidasi
kekuasaannya pada tahun 1017. Keutuhan Negara cepat pulih dan
kesejahteraan rakyat segera dikelola kembali. Kegiatan perdagangan luar
Negeri dengan Cina dan Negara Asia lainnya ramai lagi. Di kerajaan
Airlangga pedagang asing membeli gading, cula badak, mutiara, kapur
barus, gaharu, cendana, rempah-rempah serta kulit penyu dan burung.
Beras merupakan komoditas hasil bumi Jawa yang penting untuk bekal
berlayar yang memakan waktu berbulan-bulan. Saudagar asing membayar
pembeliannya dengan uang emas dan perak. Di samping itu mereka
memasukkan sutra dan pecah belah dari proselen.
Dari pemberitaan Cina kita mengetahui
bahwa kerajaan Airlangga itu bernama Pu Chia Lung (Panjalu). Pelabuhan
utamanya adalah Chung Kia Lu (Ujung Galuh) yang terletak dekat muara
sungai Brantas. Di sebelah timurnya lagi terdapat pelabuhan Ta pan
(Sampang / Ketapang ) yang merupakan sebuah kota penting kerajaan
bawahan. Dari sini jelas bahwa peran Madura sebagai penjaga jalur lalu
lintas maritime kerajaan Panjalu itu sangatlah besar.
Agaknya pada waktu itu ada penguasa
Madura di Pancangan yang menyia-nyiakan istrinya yang cantik tetapi
berpenyakit menjijikkan. Ini kemudian meng-ilhami terjadinya kisah
kesetiaan pasangan Bangsacara dan Ragapadmi yang tersohor itu. Kota kuno
Pancangan terletak dekat Kwanyar di pantai selatan Madura memang sangat
strategis untuk mengamankan jalur Ujung Galuh, Bali dan kawasan
Nusantara timur yang menjadi penghasil cendana. Kota pelabuhan sekitar
Arosbaya pun tentu memperoleh status istimewa untuk melancarkan arus
pelayaran ke Sriwijaya, Banjarmasin, Maluku dan pusat-pusat kerajaan
lainnya.
Sebagai seorang raja besar Airlangga
tidak melupakan mengembangkan kesenian rakyatnya. Mahabharata dan
Ramayana yang sebelumnya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kawi
digubah kembali sehingga kisah itu seakan-akan terjadi di bumi
Nusantara. Karena itu Negara Madura yang diperintah raja Bala Dewa
diidentifikasi dengan daerah Madura barat. Widarba, yang merupakan
negara mertua Khrisna, Di tumpang tindihkan dengan kerajaan Bidarba yang
beribu kota Pacangan tempat Bangsacara berjumpa Ragapadmi. Prabu Salya
dikisahkan memerintah kerajaan Mandaraka yang terletak di Madura timur
sampai sekarang didekat Ambunten ada desa yang bernama Mandaraga.
Pewayangan sebagai wahana penyajian karya agung ke hadapan khalayak
ramai juga sudah mulai mapan. Agaknya pada waktu itu perkembangan wayang
topeng Madura yang khas itu sudah mendekati bentuk akhir
kesempurnaannya seperti yang dijumpai sekarang ini.
Namun lambat laun peradaban orang Madura
purba itu mengalami kemajuan yang berarti. Sejalan dengan perkembangan
yang dialami bangsa-bangsa lain di Nusantara. Pada waktunya orang Madura
juga memasuki masa perundingan. Masa ini ditandai oleh penguasa
teknologi pengolahan biji logam. Pada masa itu muncullah dalam
masyarakat segolongan orang yang berkemampuan khusus membuat
barang-barang kerajinan. Keterampilan mereka membuat gegabah semakin
meningkat. Begitu pula pengetahuan masyarakat tentang pemeliharaan
ternak bertambah baik.
Dengan adanya perahu bercadik (yang
sekarang masih ada serta pengembangannya dalam bentuk jukong)
dimungkinkan ada di antara rombongan pendatang tersebut yang sampai ke
pulau kecil ini dengan rakit. Dugaan ini didasarkan pada salah satu
mythology yang menggambarkan cara orang-orang tua Madura tempo doeleo
menjelaskan asal usul leluhurnya. Mereka menganggap dirinya keturunan
sang Segara, pangeran laut yang sampai ke pulau ini dalam kandungan
ibunya yang terdampar di pantai utara. Madura dengan menaiki rakit.
Kebanyakan rumah-rumah adat masyarakat
Madura dibuat menghadap ke selatan, hal ini disebabkan oleh sejarah
perjalanan leluhur mereka yang datang dari arah utara ke selatan
dikarenakan terdesaknya nenek moyang mereka dari daerah asalnya, dan
route perjalanan yang dilakukan untuk menyelamatkan diri ditempuh
melalui jalur laut menuju daerah selatan. Sejak peristiwa itu bagi
bangsa ini laut merupakan symbol dan keselamatan dan masa depan yang
penuh harapan, akan tetapi ada pula pendapat yang menyatakan bahwa,
masyarakat Madura yang dikenal sebagai pelaut-pelaut tangguh menganggap
laut sebagai cerminan hidup yang penuh dengan tantangan dan gelora yang
harus dihadapi dalam mengarungi kehidupannya serta harapan masa
depannya.
Laut juga menjadi cermin pelambang
kebebasan jiwa petualangannya dan wadah ekspresi rasa kemerdekaannya.
Dalam perjalanan sejarah kehidupan leluhur bangsanya mereka pernah
mendapat ancaman bahaya yang datang dari pedalaman di utara. Karena itu
mudah lah di mengerti jika mereka selalu menggapai ke arah selatan yang
waktu itu berupa laut. Orientasi ke laut secara luas dapat dimaknakan ka
lao’ dalam bahasa Madura (yang berarti ke selatan, yaitu penunjuk arah
lawan utara). Berbeda dengan orang Jawa, mythology Nyai Loro Kidul yang
mengagung-agungkan pantai laut selatan Samudera India tidak mempunyai
akar dalam tradisi asli mythology rakyat Madura.
Hanya sayang tenttang keberadaan
pemerintahan di Madura yg sejak masa Airlangga, hanya berita dari China
dan tak ada sumber lain yg menungjangnya, sehingga kurang kuat untuk
dijadikan acuan. Dan tidak ada sisa situs peninggalan sejarah sebagai
bukti kebenarannya. Dengan demikian maka Arya Wiraraja lah ditentukan
sebagai Adipati pertama di Sumenep / Madura, itu berdasarkan beberapa
sumber yg cukup kuat, diantaranya adalah Prasasti Mula Malurung, Kitab
Nagarakretagama, Serat Pararaton, Kidung Harsawijaya, Kidung
Wijayakrama, Kidung Ranggalawe dan lain sebagainya. Menurut tulisan Drs
Abdurrahman (manta Bupati Sumenep), bahwa di Sumenep / Madura sebelum
Arya Wiraraja sudah ada pemerintahan yg berpangkat Akuwu. Tapi sangat
disayangkan tidak ada tulisan yg jelas tentang hal tersebut. Dan sangat
disayangkan prasasti Mula Malurung lempengan VI A dan B 12 hilang,
sehingga penjelasan tentang pemerintahan sebelum Arya Wiraraja kurang
jelas. (Tadjul Arifin R)
Seperti yang tercatat dalam sejarah,
perpindahan bangsa-bangsa secara besar-besaran dari Asia tenggara
terjadi pada kurun waktu yang panjang (antara 4000 – 2000 sebelum
Masehi). Kejadian ini antara lain berasal-muasal dari bertambah pesat
kerajaan –kerajaan Cina. Karena kepesatan perkembangan kebudayaannya
mereka lalu meluaskan pengaruh kekuasaannya ke arah selatan. Kawasan
yang langsung terkena dampaknya adalah wilayah Tibet (yang merupakan
tanah leluhur bangsa Burma) dan daerah Yunan (yang semula dihuni orang
Thai dan Vietnam). Akibat dari mengalirnya kedatangan bangsa Cina
tersebut, maka bangsa-bangsa Burma, Thai dan Vietnam terpaksa menyingkir
lebih ke selatan.
Hingga akhirnya, perpindahan mereka lalu
melahirkan cikal bakal bangsa-bangsa Proto Melayu yang pada saat itu
bermukim di wilayah Burma, Siam dan Indochina. Fenomena itu menyebabkan
kelompok bangsa-bangsa tersebut menjadi tercerai-berai. Hingga sebagian
dari mereka melakukan perpindahan ke daerah pantai. Namun tidak sedikit
diantara mereka yang terus ke selatan, mengarungi laut ataupun melewati
Semenanjung kemudian menyeberangi selat hingga mencapai pulau-pulau di
Nusantara.
Proses perpindahan melintasi lautan
tersebut tidak berlangsung sekaligus. Kebanyakan dari mereka berangkat
secara bergelombang kelompok demi kelompok dalam kurun waktu kurang
lebih 2000 tahun. Karena tidak bersamaan meninggalkan tanah asalnya itu
maka kelompok-kelompok tersebut tiba di tempat yang berlainan pulau di
Nusantara. Walau pada mulanya mereka serumpun bangsa dan bahasanya,
lama-kelamaan pemisahan Geografis menyebabkan terjadinya perbedaan yang
makin membesar. Pembauran dengan kelompok-kelompok berbeda (bangsa
Deotero Melayu) yang datang belakangan ternyata mempertajam perbedaan
karena pemisahan itu. Sesudah beberapa abad berlaku maka terjadilah
suku-suku bangsa yang pluralis seperti yang terlihat sekarang di
kepulauan Indonesia ini.
Namun demikian masih dapat disaksikan
adanya persamaan mendasar di antara mereka. Misalnya kesamaan dalam cara
menamakan benda-benda umum (padi, pandan, ubi, udang, hujan, batu) di
sekelilingnya, atau dalam model penyebutan nama seseorang berdasarkan
nama anak sulungnya. Kesamaan substansi pun dapat di jumpai pada
penggunaan kata bantu (ekor, batang, lembar, buah) dalam menghitung
sesuatu. Kemudian mereka memiliki kesamaan dalam kesukaannya dalam meng
konsumsi ikan kering yang diasinkan dan dibusukkan (terasi, petis) atau
makanan yang ditapaikan. Semuanya juga ternyata sama-sama senang mengadu
ayam. Begitu pula warna kulit, bentuk muka, perawakan badan serta sifat
fisik serta tubuh lainnya memang menunjukkan bahwa orang-orang
Nusantara itu berasal dari rumpun bangsa yang sama.
Salah satu kelompok bangsa yang pindah
mengarungi laut itu terdampar ke suatu pulau kecil yang terletak di
utara, ujung timur pulau Jawa. Para pendatang ini lalu menetap di sana
untuk kemudian menjadi nenek moyang bangsa Madura. Seperti bangsa Piah,
Campa dan Jai di Kocincina mereka mengacu pada apai dengan mana apoy,
menyebut istrinya bine dan memakai kata ella untuk menyatakan sudah.
Berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya. Bahasa mereka mengenal konsonan
rangkap seperti bassa, cacca, daddi, kerrong dan pennai. Kalau
dibandingkan dengan bangsa-bangsa yang mendiami pulau-pulau di
sekitarnya, leluhur orang Madura ini umumnya memiliki tengkorak yang
celah matanya lebar mendatar dengan tulang pipi lebih menonjol. Raut
muka mereka tidak begitu halus dan warna kulitnya lebih gelap.
Dari beberapa hasil penelitian sejarah
belum dapat dipastikan apakah sesampainya di pulau yang akan menjadi
tempat huniannya cikal-bakal suku bangsa Madura itu menjumpai penduduk
asli Nusantara. Jika ada maka penduduk asli itu akan dapat dikalahkan
sebab mereka masih berkebudayaan batu tua (paeolitik). Adapun pendatang
baru dari utara itu telah berkebudayaan batu baru (neolitik), seperti
ditunjukkan oleh peninggalan mereka yang diketemukan di Madura. Jadi
mereka telah berkemampuan mengupam atau mengasah batu menjadi beliung
atau kapak persegi, yang dapat pula dijadikan pacul.
Setelah ratusan tahun di Madura maka
para pendatang baru itu menjadi beranak-pinak dan terpencar-pencar ke
seluruh pulau. Bahkan pulau-pulau kecil di sekitar Madura dihuninya
juga, seperti pulau Sepudi dan Kangean di timur, pulau Mandangil di
selat Madura dan pulau Masalembu serta Bawean di laut Jawa. Mereka
bermukim dalam kelompok-kelompok yang besarnya di tentukan oleh
kesuburan tanah atau daya dukung ekologi setempat. Beberapa kelompok ini
jumlahnya sampai ratusan orang sehingga kemudian membentuk
satuan-satuan tersendiri namun masih terikat satu sama lain oleh
kesamaan bahasa. Dan lama-kelamaan memunculkan dialek setempat yang
terhadap perbedaannya dari barat (Bangkalan), tengah (Sampang dan
Pamekasan), timur (Sumenep) dan timur sekali (Kangean). Lambat laun
timbul pula ras keterkaitan pada tanah kelahiran dan pada kelompok
masyarakat yang menghuni nya karena kebersamaan peruntungan dan
kebersamaan nya. Jarak Geografis pusat-pusat pemukiman yang berjauhan
itu menyebabkan perbedaan di antara mereka itu semakin mantap. Apalagi
karena perkembangan selanjutnya mengikuti alur sejarah yang agak
berlainan untuk setiap wilayah.
Peninggalan purbakala berupa kapak dan
bejana perunggu (sebagai pengejawantahan peradaban Dongson) yang se-type
dengan yang ada di daratan Cina Selatan dan Asia Tenggara juga
diketemukan di wilayah Sampang, ini memberi bahwa tidak terputusnya
hubungan Madura dengan daratan Asia, yang mungkin dilakukan untuk
keperluan perdagangan. Tetapi karena Madura tidak menghasilkan komoditas
perdagangan yang berarti untuk dipertukarkan, maka timbul dugaan bahwa
mereka ini merupakan pedagang perantara. Mungkin juga hanya bermodalkan
pengetahuan tentang seni berlayar, maka pelaut-pelaut Madura menyediakan
perahunya untuk membawa pedagang dari bangsa lain mengarungi lautan
lepas.
Kerajaan-kerajaan kecil di Madura tentu
menjadi merdeka sebentar sampai raja Airlangga berhasil meng-konsolidasi
kekuasaannya pada tahun 1017. Keutuhan Negara cepat pulih dan
kesejahteraan rakyat segera dikelola kembali. Kegiatan perdagangan luar
Negeri dengan Cina dan Negara Asia lainnya ramai lagi. Di kerajaan
Airlangga pedagang asing membeli gading, cula badak, mutiara, kapur
barus, gaharu, cendana, rempah-rempah serta kulit penyu dan burung.
Beras merupakan komoditas hasil bumi Jawa yang penting untuk bekal
berlayar yang memakan waktu berbulan-bulan. Saudagar asing membayar
pembeliannya dengan uang emas dan perak. Di samping itu mereka
memasukkan sutra dan pecah belah dari proselen.
Dari pemberitaan Cina kita mengetahui
bahwa kerajaan Airlangga itu bernama Pu Chia Lung (Panjalu). Pelabuhan
utamanya adalah Chung Kia Lu (Ujung Galuh) yang terletak dekat muara
sungai Brantas. Di sebelah timurnya lagi terdapat pelabuhan Ta pan
(Sampang / Ketapang ) yang merupakan sebuah kota penting kerajaan
bawahan. Dari sini jelas bahwa peran Madura sebagai penjaga jalur lalu
lintas maritime kerajaan Panjalu itu sangatlah besar. Agaknya pada waktu
itu ada penguasa Madura di Pancangan yang menyia-nyiakan istrinya yang
cantik tetapi berpenyakit menjijikkan. Ini kemudian meng-ilhami
terjadinya kisah kesetiaan pasangan Bangsacara dan Ragapadmi yang
tersohor itu. Kota kuno Pancangan terletak dekat Kwanyar di pantai
selatan Madura memang sangat strategis untuk mengamankan jalur Ujung
Galuh, Bali dan kawasan Nusantara timur yang menjadi penghasil cendana.
Kota pelabuhan sekitar Arosbaya pun tentu memperoleh status istimewa
untuk melancarkan arus pelayaran ke Sriwijaya, Banjarmasin, Maluku dan
pusat-pusat kerajaan lainnya.
Sebagai seorang raja besar Airlangga
tidak melupakan mengembangkan kesenian rakyatnya. Mahabharata dan
Ramayana yang sebelumnya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kawi
digubah kembali sehingga kisah itu seakan-akan terjadi di bumi
Nusantara. Karena itu Negara Madura yang diperintah raja Bala Dewa
diidentifikasi dengan daerah Madura barat. Widarba, yang merupakan
negara mertua Khrisna, Di tumpang tindihkan dengan kerajaan Bidarba yang
beribu kota Pacangan tempat Bangsacara berjumpa Ragapadmi. Prabu Salya
dikisahkan memerintah kerajaan Mandaraka yang terletak di Madura timur
sampai sekarang didekat Ambunten ada desa yang bernama Mandaraga.
Pewayangan sebagai wahana penyajian karya agung ke hadapan khalayak
ramai juga sudah mulai mapan. Agaknya pada waktu itu perkembangan wayang
topeng Madura yang khas itu sudah mendekati bentuk akhir
kesempurnaannya seperti yang dijumpai sekarang ini.
Namun lambat laun peradaban orang Madura
purba itu mengalami kemajuan yang berarti. Sejalan dengan perkembangan
yang dialami bangsa-bangsa lain di Nusantara. Pada waktunya orang Madura
juga memasuki masa perundingan. Masa ini ditandai oleh penguasa
teknologi pengolahan biji logam. Pada masa itu muncullah dalam
masyarakat segolongan orang yang berkemampuan khusus membuat
barang-barang kerajinan. Keterampilan mereka membuat gegabah semakin
meningkat. Begitu pula pengetahuan masyarakat tentang pemeliharaan
ternak bertambah baik.
Dengan adanya perahu bercadik (yang
sekarang masih ada serta pengembangannya dalam bentuk jukong)
dimungkinkan ada di antara rombongan pendatang tersebut yang sampai ke
pulau kecil ini dengan rakit. Dugaan ini didasarkan pada salah satu
mythology yang menggambarkan cara orang-orang tua Madura tempo doeleo
menjelaskan asal usul leluhurnya. Mereka menganggap dirinya keturunan
sang Segara, pangeran laut yang sampai ke pulau ini dalam kandungan
ibunya yang terdampar di pantai utara. Madura dengan menaiki rakit.
Kebanyakan rumah-rumah adat masyarakat
Madura dibuat menghadap ke selatan, hal ini disebabkan oleh sejarah
perjalanan leluhur mereka yang datang dari arah utara ke selatan
dikarenakan terdesaknya nenek moyang mereka dari daerah asalnya, dan
route perjalanan yang dilakukan untuk menyelamatkan diri ditempuh
melalui jalur laut menuju daerah selatan. Sejak peristiwa itu bagi
bangsa ini laut merupakan symbol dan keselamatan dan masa depan yang
penuh harapan, akan tetapi ada pula pendapat yang menyatakan bahwa,
masyarakat Madura yang dikenal sebagai pelaut-pelaut tangguh menganggap
laut sebagai cerminan hidup yang penuh dengan tantangan dan gelora yang
harus dihadapi dalam mengarungi kehidupannya serta harapan masa
depannya. Laut juga menjadi cermin pelambang kebebasan jiwa
petualangannya dan wadah ekspresi rasa kemerdekaannya. Dalam perjalanan
sejarah kehidupan leluhur bangsanya mereka pernah mendapat ancaman
bahaya yang datang dari pedalaman di utara. Karena itu mudah lah di
mengerti jika mereka selalu menggapai ke arah selatan yang waktu itu
berupa laut. Orientasi ke laut secara luas dapat dimaknakan ka lao’
dalam bahasa Madura (yang berarti ke selatan, yaitu penunjuk arah lawan
utara). Berbeda dengan orang Jawa, mythology Nyai Loro Kidul yang
mengagung-agungkan pantai laut selatan Samudera India tidak mempunyai
akar dalam tradisi asli mythology rakyat Madura.
Hanya sayang tenttang keberadaan
pemerintahan di Madura yg sejak masa Airlangga, hanya berita dari China
dan tak ada sumber lain yg menungjangnya, sehingga kurang kuat untuk
dijadikan acuan. Dan tidak ada sisa situs peninggalan sejarah sebagai
bukti kebenarannya. Dengan demikian maka Arya Wiraraja lah ditentukan
sebagai Adipati pertama di Sumenep / Madura, itu berdasarkan beberapa
sumber yg cukup kuat, diantaranya adalah Prasasti Mula Malurung, Kitab
Nagarakretagama, Serat Pararaton, Kidung Harsawijaya, Kidung
Wijayakrama, Kidung Ranggalawe dan lain sebagainya. Menurut tulisan Drs
Abdurrahman (manta Bupati Sumenep), bahwa di Sumenep / Madura sebelum
Arya Wiraraja sudah ada pemerintahan yg berpangkat Akuwu. Tapi sangat
disayangkan tidak ada tulisan yg jelas tentang hal tersebut. Dan sangat
disayangkan prasasti Mula Malurung lempengan VI A dan B 12 hilang,
sehingga penjelasan tentang pemerintahan sebelum Arya Wiraraja kurang
jelas. (Sumber : www.lontarmadura.com)
Artikel terkait :
- Suku Betawi
Artikel terkait :
- Suku Betawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar