Suku Batak merupakan salah satu suku
bangsa yang ada di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah terma kolektif untuk
mengindentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari
Tapanuli, Sumatera Timur dan di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan
sebagai Batak adalah Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun,
Batak Angkola dan Batak Mandailing. Mayoritas orang batak menganut agama
Kristen dan sisanya menganut agama Islam. Tetapi ada juga yang menganut agama
Malim dan juga menganut kepercayaan Animisme (disebut juga sipelebegu atau
parbegu), akan tetapi kini penganut kedua kepercayaan ini semakin berkurang.
Sejarah Suku Batak
Suku Batak adalah penutur bahasa
Austronesia namun tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali
bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi
menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah
ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2500 tahun lalu, yaitu di zaman batu
muda (Neolitikum). Karena hingga sekarang belum ditemukan artefak Neolitikum
(zaman batu muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek
moyang Suku Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara pada zaman logam. Pada abad
ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus di
pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur barus yang diusahakan oleh
petani-petani di pedalaman. Kapur barus dari tanah Batak sangat bermutu tinggi
sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor selain kemenyan. Pada abad ke-10,
Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang
Tamil dari pesisir Sumatera. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur barus
mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di
pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari
Barus, Sorkam hingga Natal.
Identitas
Suku Batak
R.W Liddle mengatakan, bahwa sebelum
abad ke-20 di Sumatera bagian utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai
satuan social koheren. Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi social di daerah
itu hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan
atau antar kampung. Hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari
satuan-satuan social dan politik yang lebih besar. Pendapat lain mengemukakan,
bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Suku Batak baru terjadi
pada masa zaman colonial. J. Pardede mengemukakan bahwa bahwa istilah “Tanah
Batak” dan “Rakyat Batak” diciptakan oleh pihak asing. Sebaliknya Siti Omas
Manurung, seorang istri dari putra pendeta Batak Toba menyatakan, bahwa sebelum
kedatangan Belanda, semua orang baik Karo maupun Simalungun mengakui dirinya
sebagai Suku Batak dan Belandalah yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok
tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan bahwa
Pusuk Buhit salah satu puncak di barat Danau Toba adalah tempat kelahiran
bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos tersebut juga menyatakan bahwa nenek
moyang orang Batak berasal dari Samosir.
Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari
berbagai macam marga, sebagian disebabkan karena adanya migrasi
keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatera. Penelitian penting tentang
tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan
transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting.
Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung di
Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat
Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari
bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke
pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad
ke-14 untuk menguasai Barus.
Penyebaran Agama
Dalam kunjungannya tahun 1292, Marcopolo
melaporkan bahwa masyarakat Suku Batak sebagai orang-orang “liar” dan tidak pernah
terpengaruh oleh agama-agama dari luar. Meskipun Ibnu Battuta, mengunjungi
Sumatera Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan Sultan Al-Malik Al-Dhahir,
masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh para
pedagang Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang
Minangkabau yang melakukan kawin-mawin dengan perempuan Batak. Hal ini secara
perlahan telah meningkatkan pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat Batak.
Pada masa perang Paderi di awal abad ke-19, pasukan Minangkabau menyerang tanah
Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan
Angkola. Namun penyerangan Paderi atas tanah Toba, tidak dapat mengislamkan
masyarakat tersebut, yang pada akhirnya mereka menganut agama Kristen
Protestan. Kerajaan Aceh di utara, juga banyak berperan dalam mengislamkan
masyarakat Karo dan Pakpak. Sementara Simalungun banyak terkena pengaruh Islam
dari masyarakat Melayu di pesisir Sumatera Timur.
Misionaris
Kristen
Pada tahun 1824, dua misionaris
baptis asal Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward berjalan kaki dari
Sibolga menuju pedalaman Batak. Setelah tiga hari berjalan, mereka sampai di
dataran tinggi Silindung dan menetap selama dua minggu di pedalaman. Dari
penjelajahan ini, mereka melakukan observasi dan pengamatan langsung atas
kehidupan masyarakat Batak. Pada tahun 1834 kegiatan ini diikuti oleh Henry
Lyman dan Samuel Manson dari dewan komisaris Amerika untuk misi luar negeri.
Pada tahun 1850, dewan Injil Belanda menugaskan
Herman Neubronner Van Der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus
bahasa Batak-Belanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok
Kristen Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang
menjadi sasaran pengkristenan mereka.
Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah
sekitar Danau Toba pada tahun 1861 dan sebuah misi pengkristenan dijalankan
pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk
pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun
1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P.H. Johannsen
pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan
pada tahun1893. Menurut H.O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak
kaku dan terdengar aneh dalam bahasa Batak.
Masyarakat Toba dan Karo menyerap agama Kristen
dengan cepat dan pada awal abad ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai
identitas budaya. Pada masa ini merupakan periode kebangkitan kolonialisme
Hindia-Belanda, dimana banyak orang Batak sudah tidak melakukan perlawanan lagi
dengan pemerintahan colonial. Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh
orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907, setelah pemimpin kharismatik
mereka, Sisingamangaraja XII wafat.
Gereja
HKBP
Gereja Huria Kristen Batak Protestan
(HKBP) telah berdiri di Balige pada bulan September 1917. Pada akhir tahun
1920-an, sebuah sekolah perawat memberikan pelatihan keperawatan kepada
bidan-bidan disana. Kemudian pada tahun 1941. Gereja Batak Karo Protestan
(GBKP) didirikan.
Kepercayaan
Sebelum Suku Batak Toba menganut
agama Kristen Protestan, mereka mempunyai system kepercayaan dan religi tentang
Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan diatas langit dan pancaran
kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak Toba
mengenal tiga konsep, yaitu :
Tondi : adalah jiwa
atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa
kepada manusia. Tondi didapat sejak seseorang didalam kandungan. Bila tondi
meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal,
maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang
dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang
memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki
para raja atau hula-hula.
Begu : adalah tondi orang yang telah meninggal,
yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu
malam.
Demikianlah religi dan kepercayaan Suku Batak
yang terdapat dalam pustaka. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan
berpendidikan tinggi, namun orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan
yang sudah tertanam didalam hati sanubari mereka.
Kekerabatan
Kekerabatan adalah menyangkut
hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan
bagi Suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan
sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada. Bentuk kekerabatan
berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari
si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memilki marga. Sedangkan kekerabatan
berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu)
maupun karena perkawinan.
Dalam tradisi Suku Batak, yang menjadi kesatuan adat
adalah ikatan sedarah dalam marga. Dimana marga artinya, misalnya Harahap,
kesatuan adatnya adalah marga Harahap dengan marga lainnya. Berhubung bahwa
adat Batak atau tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan
dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar
daerah.
Ada falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa
Batak Toba yang berbunyi : jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul,
merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga,
karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama
dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh
dilupakan dalam pelaksanaan adat.
Falsafah Dan Sistem
Kemasyarakatan
Masyarakat Suku Batak memiliki falsafah, azas
sekaligus struktur dan system dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam bahasa
Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. Berikut penyebutan Dalihan na Tolu dalam
enam puak Batak.
Dalihan Na Tolu (Toba) : somba marhula-hula,
manat mardongan tubu dan elek marboru.
Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola) : hormat
Marmora, manat markahanggi dan elek maranak boru.
Tolu Sahundulan (Simalungun) : martondong ningon
hormat sombah, marsanina ningon pakkei manat dan marboru ningon elek pakkei.
Rakut Sitelu (Karo) : nembah man kalimbubu,
mehamat man sembuyak dan nami-nami man anak beru.
Daliken Sitelu (Pakpak) : sembah merkula-kula,
manat merdengan tubuh dan elek marberru.
Hula-hula atau mora : adalah pihak keluarga dari
istri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan
adat-istiadat Batak (semua sub suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak
dipesankan harus hormat kepada Hula-hula (Somba Marhula-hula).
Dongan tubu atau hahanggi : disebut juga Dongan
Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari satu
perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling
menopang, walaupun karena terlalu dekatnya kadang-kadang saling bergesekan. Namun,
pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti
air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetap bersatu. Namun kemudian
kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada
saudara semarga. Diistilahkan Manat Mardongan Tubu.
Boru atau anak boru : adalah pihak keluarga yang
mengambil istri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi
paling rendah sebagai parhobas atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari
maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai
pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak
boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan Elek Marboru.
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem
kekerabatan Suku Batak. Sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu adalah bersifat
kontekstual. Sesuai konteksnya, semua ,masyarakat Batak pasti pernah menjadi
hula-hula, juga sebagai dongan tubu juga sebagai boru. Jadi setiap orang harus
menempatkan posisinya secara kontekstual.
Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang
Batak harus berprilaku raja, raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang
yang berkuasa, tetapi orang yang berprilaku baik sesuai dengan tata krama dalam
sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut
raja ni hula-hula, raja ni dongan tubu dohot raja ni boru.
Demikian yang bisa saya tuliskan tentang
kebudayaan Suku Batak. Saya selaku orang Batak, sangat bangga menjadi orang
Batak. Indonesia sangat indah karena di Indonesia banyak terdapat pulau-pulau
dan suku-suku bangsa. Oleh karena itu, teman-teman sekalian banggalah akan suku
bangsa yang kalian miliki, biarlah kiranya terus melekat sampai akhir hidup
anda. Ambillah sisi positif dari suku bangsa anda dan tinggalkanlah sisi negatifnya.
Akhir kata saya ucapkan terimakasih. (Sumber : http://sintongjonatan-jonatan.blogspot.com)
Artikel terkait :
- Suku Asmat
- Suku Toraja
- Suku Sunda
- Suku Dani
Artikel terkait :
- Suku Asmat
- Suku Toraja
- Suku Sunda
- Suku Dani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar