Salah satu suku yang tinggal di pedalaman
Makassar, Sulawesi Selatan adalah Suku Kajang. Secara turun temurun, mereka tinggal di
Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Bagi mereka, daerah itu dianggap
sebagai tanah warisan leluhur dan mereka menyebutnya, Tana Toa.
Di Tana Toa, Suku Kajang terbagi menjadi dua kelompok, Kajang Dalam
dan Kajang Luar. Suku Kajang Luar hidup dan menetap di tujuh desa di
Bulukumba. Sementara suku Kajang Dalam tinggal hanya di dusun Benteng.
Di dusun Benteng inilah, masyarakat Kajang Dalam dan Luar melaksanakan
segala aktifitasnya yang masih terkait dengan adat istiadat.
Meskipun Suku Kajang terbagi menjadi dua kelompok, tidak ada
perbedaan diantara keduanya. Sejak dulu hingga kini, mereka selalu
berpegang teguh pada ajaran leluhur.
Berdasarkan ajaran leluhur, masyarakat Suku Kajang harus selalu menjaga keseimbangan hidup dengan alam dan para leluhur.
Berdasarkan ajaran leluhur, masyarakat Suku Kajang harus selalu menjaga keseimbangan hidup dengan alam dan para leluhur.
Tokoh Adat Suku Kajang, Mansyur Embas menuturkan bahwa , masyarakat
Suku Kajang di Tana Toa selalu hidup dalam kesederhanaan. Di dalam
setiap rumah warga Kajang, tidak ada satupun perabotan rumah tangga.
Tidak ada kursi ataupun kasur. Mereka juga tidak menggunakan satupun
peralatan elektronik, seperti Radio dan televisi. Mereka menganggap,
modernitas dapat menjauhkan suku Kajang dengan alam dan para leluhur.
“Di dalam tidak ada kursi. Tidak ada kasur. Tidak ada kemoderan yang
bisa kita liat. Tidak ada lambang yang sifatnya elektronik dan segala
macamnya. Tidak ada elektronik, seperti radio dan televisi. Ini mengapa?
Demi untuk menjaga kelestarian lingkungan dengan alam lingkungan untuk
tetap terjalin. Terjalin hubungan komunikasi batin dengan paar leluhur,
para pendahulu. Yang paling utama hubungan dengan Tuhan.”
Meskipun Suku Kajang terbagi menjadi dua kelompok, tidak ada perbedaan diantara keduanya. Sejak dulu hingga kini, mereka selalu berpegang teguh pada ajaran leluhur.
Berdasarkan ajaran leluhur, masyarakat Suku Kajang harus selalu menjaga keseimbangan hidup dengan alam dan para leluhur.
Tokoh Adat Suku Kajang, Mansyur Embas menuturkan bahwa , masyarakat
Suku Kajang di Tana Toa selalu hidup dalam kesederhanaan. Di dalam
setiap rumah warga Kajang, tidak ada satupun perabotan rumah tangga.
Tidak ada kursi ataupun kasur. Mereka juga tidak menggunakan satupun
peralatan elektronik, seperti Radio dan televisi. Mereka menganggap,
modernitas dapat menjauhkan suku Kajang dengan alam dan para leluhur.
Bagi masyarakat Kajang, modernitas juga dianggap sebagai pengaruh
yang dapat menyimpang dari aturan adat dan ajaran leluhur. Mereka tidak
mudah untuk menerima budaya dari luar daerah. Mansyur Embas, tokoh adat
Suku Kajang menceritakan dulu, di Tana Toa tidak ada satupun tempat
pendidikan formal. Tidak ada satupun warga Suku Kajang yang mau untuk
menuntut ilmu secara formal. Namun seiring dengan pemikiran warga Suku
Kajang yang semakin maju, semuanya telah berubah sedikit demi sedikit.
berikut penuturan dari Mansyur Embas.
“Ini dikarenakan dianggapnya mereka ini tabu untuk melakukan hubungan
dengan dunia luar bagi perempuan adat di dalam kawasan hidup Amatoa
itu. Mungkin ada beberapa unsur pengaruh negatif. Keluar, pengawasan
sudah kurang. Pengawasan keluarga sudah jarang. Ketiga, mungkin karena
pengaruh pergaulan yang mereka sama sekali di awal kehidupannya belum
pernah melihat tata cara seperti itu, mereka langsung bisa terjerumus.
Inilah yang mereka jaga. Tapi, kalau sekarang ini sudah sedikit agak
terbuka. Di dalam sudah ada sekolah lanjutan tingkat atas. Mereka sudah
mulai terbuka karena itu. Artinya keterbukaan ini sudah menyadarkan
mereka juga sudah menyadari ketertinggalan pendidikan. Malah sudah ada
asli wanita dalam itu sudah jadi Polwan.”
Kesederhanaan Suku Kajang juga dapat Anda lihat dari bentuk rumah
Kajan. Di Tana Toa, semua rumah warga dibangun dari bahan yang sama .
Bangunan rumahnya terbuat dari kayu. Sementara atapnya terbuat dari
ijuk. Tidak hanya bahan, bentuk rumahnya juga sama. Konon, konsep ini
tidak hanya menunjukkan kesederhanaan. Mereka juga menganggapnya sebagai
simbol keseragaman. Mereka percaya, jika ada keseragaman tidak akan ada
rasa iri diantara masyarakat Suku Kajang.
Meskipun kini masyarakat Kajang sedikit terbuka terhadap pengaruh
budaya dari luar, hukum adat dan ajaran para leluhur tetap mereka pegang
teguh. Setiap pendatang yang ingin berkunjung ke Tana Toa tetap harus
mematuhi semua aturan adat yang berlaku. Untuk masuk ke wilayah Tana
Toa, Anda tidak boleh menggunakan sarana transportasi modern. Di area
Tana Toa, Anda diharuskan untuk berjalan kaki. Sebagai alternatif, Anda
hanya boleh menunggang kuda untuk mengelilingi Tana Toa.
Keseragaman dan kesederhanaan tidak hanya terlihat dari bentuk
rumahnya. Setiap hari, suku Kajang juga mengenakan pakaian yang warnanya
sama. Mereka selalu mengenakan pakaian bewarna hitam. Bagi mereka,
hitam melambangkan kesederhanaan dan kesamaan antar sesama masyarakat
Kajang. Oleh masyarakat Kajang, warna hitam juga dijadikan simbol agar
mereka selalu ingat akan dunia akhir atau kematian. Untuk menghadapi
kematian, setiap masyarakat Kajang harus mempersiapkan diri sebaik
mungkin sejak mereka dilahirkan. Mereka harus selalu berbuat baik,
menjaga alam, patuh terhadap perintah Tuhan Yang Maha Esa dan ajaran
leluhur.
Sumber : http://fhetanblog.wordpress.com
Artikel terkait :
- Suku Laut
- Suku Duri
- Suku Bajau